Cukai Rokok 2021 Naik 12,5%! Begini Rinciannya dan Penjelasannya

- 10 Desember 2020, 15:46 WIB
Pedagang menunjukkan bungkus rokok bercukai di Jakarta, Kamis (10/12/2020). Kementerian Keuangan mengumumkan kenaikan tarif cukai rokok sebesar 12,5 persen yang berlaku pada 2021.
Pedagang menunjukkan bungkus rokok bercukai di Jakarta, Kamis (10/12/2020). Kementerian Keuangan mengumumkan kenaikan tarif cukai rokok sebesar 12,5 persen yang berlaku pada 2021. / ANTARA FOTO/Aprillio Akbar

PORTAL SULUT - Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah menetapkan kebijakan tarif cukai hasil tembakau tahun 2021.

Kebijakan ini selaras dengan visi-misi Presiden Republik Indonesia yaitu “SDM Unggul, Indonesia Maju”, melalui komitmen pengendalian konsumsi demi kepentingan kesehatan.

Namun juga perlindungan terhadap buruh, petani, dan industri dengan meminimalisir dampak negatif kebijakan, sekaligus melihat peluang dan mendorong ekspor hasil tembakau Indonesia.

Baca Juga: Pastikan 5 Hal Ini Terpenuhi untuk Meningkatkan Kekebalan Tubuh Selama Pandemi

Ada beberapa pokok kebijakan cukai hasil tembakau tahun 2021 yaitu Hanya besaran tarif cukai hasil tembakau yang berubah, mengingat tahun 2021 merupakan tahun yang berat bagi hampir seluruh industri termasuk industri hasil tembakau.

Kemudian simplifikasi digambarkan dengan memperkecil celah tarif antara Sigaret Kretek Mesin (SKM) golongan II A dengan SKM golongan II B, serta Sigaret Putih Mesin (SPM) golongan II A dengan SPM golongan II B.

Serta besaran harga jual eceran di pasaran sesuai dengan kenaikan tarif masing-masing.

Baca Juga: Ada Bantuan 450 Ribu Hingga 1 Juta untuk Pelajar. Ini Cara Ceknya

Pemerintah menetapkan rata-rata tertimbang dari kenaikan tarif cukai per jenis rokok adalah sebesar 12,5%.

Pemerintah juga telah menetapkan untuk tidak menaikkan tarif cukai Sigaret Kretek Tangan (SKT), berdasarkan pertimbangan situasi pandemi dan serapan tenaga kerja oleh Industri Hasil Tembakau (IHT).

Secara rinci, kenaikan tarif cukai SKM adalah 16,9% untuk golongan I, 13,8% untuk golongan II A, dan 15,4% untuk golongan II B. Sementara jenis SPM adalah 18,4% untuk golongan I, 16,5% untuk golongan II A, dan 18,1% untuk golongan II B.

Baca Juga: Penyelesaian Masalah HAM Masa lalu Tetap Dilanjutkan

Kebijakan ini diambil Pemerintah melalui pertimbangan terhadap lima aspek, yaitu kesehatan terkait prevalensi perokok, tenaga kerja di industri hasil tembakau, petani tembakau, peredaran rokok ilegal, dan penerimaan.

Berangkat dari kelima instrumen tersebut, Pemerintah berupaya untuk dapat menciptakan kebijakan tarif cukai hasil tembakau yang inklusif.

Kebijakan tersebut diharapkan dapat memberikan dampak positif terhadap masing-masing aspek pertimbangan.

Baca Juga: Tujuh Selebritas Bertarung di Pilkada 2020. Ini Hasilnya Berdasarkan Hitungan Cepat

Melalui aspek kesehatan, kenaikan tarif akan menaikkan harga jual yang akan berdampak pada pengendalian konsumsi rokok, penurunan prevalensi merokok yang secara umum diharapkan menurun dari 33,8% menjadi 33,2% di tahun 2021.

Selain itu, diharapkan pula penurunan prevalensi merokok anak golongan usia 10 hingga 18 tahun yang ditargetkan turun menjadi 8,7% di tahun 2024 dari 9,1% di tahun 2020.

Dari aspek ketenagakerjaan, Pemerintah berupaya melindungi keberadaan industri padat karya dalam penyusunan kebijakan cukai hasil tembakau 2021.

Baca Juga: Waspadai ada Orang Mengaku dari KPK. Ini Cara Melaporkan

Format kebijakan di atas tetap mempertimbangkan jenis sigaret (terutama SKT) yang sangat berkontribusi dalam penyerapan tenaga kerja langsung sebesar 158.552 orang.

Dari aspek pertanian, besaran kenaikan tarif cukai memperhatikan tingkat serapan tembakau lokal.

Oleh sebab itu, kenaikan tarif cukai sigaret kretek lebih rendah dari kenaikan tarif cukai sigaret putih, bahkan SKT tahun ini tidak mengalami kenaikan.

Baca Juga: Terbaru, Lowongan Kerja Lulusan SMK. Ini Syaratnya

Sehingga diharapkan, tingkat penyerapan tembakau lokal dapat terjaga mengingat terdapat lebih dari 526 ribu kepala keluarga yang menggantungkan hidupnya dari pertanian tembakau.

Dari aspek Industri terdapat bantalan kebijakan untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dengan mengalokasikan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) untuk membentuk Kawasan Industri Hasil Tembakau (KIHT) sebagai langkah preventif terhadap peredaran rokok ilegal.

Dari aspek peredaran rokok ilegal, agar kebijakan tidak menjadi insentif bagi peredaran rokok ilegal.

Baca Juga: Unik Nyoblos Pakai Gaun Pengantin. Kok Bisa? Ini Videonya

Upaya pengawasan dan penindakan akan terus ditingkatkan baik yang bersifat preventif melalui sosialisasi dan pendirian Kawasan Industri Hasil Tembakau (KIHT), dan represif melalui kegiatan Operasi Gempur Rokok Ilegal, Operasi Jaring, patroli laut, dan berbagai kegiatan penindakan yang sinergis dengan aparat penegak hukum dan pihak terkait lainnya.

Dari aspek penerimaan, meskipun kebijakan tarif cukai hasil tembakau dititikberatkan pada pengendalian konsumsi, namun demikian, kebijakan cukai yang diambil mampu mendukung program pembangunan nasional melalui penerimaan negara. Target penerimaan cukai dalam APBN tahun 2021 sebesar Rp173,78 triliun.

Untuk memastikan tercapainya tujuan kebijakan cukai hasil tembakau di atas dan meredam dampak kebijakan yang tidak diinginkan, maka pemerintah membuat bantalan kebijakan dalam bentuk pengaturan ulang penggunaan dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT).

Baca Juga: Yuk Urus SIM. Ini Lima Lokasi Sim Keliling di Jakarta Kamis Hari Ini

Sebesar 50% akan digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya petani/buruh tani tembakau dan buruh rokok.

Dari alokasi ini, sebesar 35% akan diberikan melalui dukungan program pembinaan lingkungan sosial yang terdiri dari Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada buruh tani tembakau dan buruh rokok.

Sebesar 5% untuk pelatihan profesi kepada buruh tani/buruh pabrik rokok termasuk bantuan modal usaha kepada buruh tani/buruh pabrik rokok yang akan beralih menjadi pengusaha UMKM.

Baca Juga: Pingin dapat Bantuan 300 Ribu di Tahun 2021? Yuk Mendaftar Sebelum Terlambat

Serta 10% untuk dukungan melalui program peningkatan kualitas bahan baku.

Sedangkan alokasi lainnya yaitu sebesar 25% adalah untuk mendukung program jaminan kesehatan nasional.

Dan 25% untuk mendukung penegakan hukum dalam bentuk program pembinaan industri, program sosialisasi ketentuan di bidang cukai, serta program pemberantasan Barang Kena Cukai ilegal.

Baca Juga: BERSIAP! Ini Syarat Mendaftar, Kapan dan Dimana Rekrutmen PPPK. Lengkapi Syaratnya

Untuk mencegah kebijakan menjadi insentif bagi peredaran rokok ilegal, upaya pengawasan dan penindakan akan terus ditingkatkan, baik yang bersifat preventif maupun represif. 

Hingga 30 November 2020, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) sebagai unit di bawah Kemenkeu, telah melakukan penindakan sebanyak 8.155 kali dengan rata-rata 25 tangkapan per hari.

Penindakan tersebut berhasil mengamankan 384,51 juta batang rokok ilegal atau senilai dengan Rp339,18 miliar.

Baca Juga: Yuk Urus SIM. Ini Lima Lokasi Sim Keliling di Jakarta Kamis Hari Ini

Meskipun dalam situasi pandemi, kegiatan pengawasan dan penindakan dibandingkan tahun sebelumnya meningkat 41,23% secara year on year (yoy).

Berdasarkan hasil survei rokok ilegal oleh Unit Penelitian dan Pelatihan Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (P2EB UGM), tingkat peredaran rokok ilegal di tahun 2020 sebesar 4,86%.

Dengan pertimbangan kompleksitas, struktur industri, cakupan luasan pengawasan, dan keterbatasan pergerakan karena pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Baca Juga: WAJIB TAHU! Berapa Paku Dibutuhkan untuk Mencoblos di Pilkada 2020? Sejak Kapan Sistem Mencoblos?

Maka hasil tersebut merupakan hasil yang sangat baik, terutama jika dibandingkan dengan tingkat peredaran rokok ilegal di negara-negara lain, khususnya di ASEAN.

Selanjutnya, Pemerintah akan terus mendorong ekspor hasil tembakau Indonesia karena memiliki daya saing tinggi. Data empat tahun terakhir menunjukkan bahwa ekspor SPM trennya meningkat.

Ekspor SPM di tahun 2019 mencapai 81,4 miliar batang, yang melonjak dari 70,9 miliar batang di tahun 2016.

Baca Juga: Terjadi Fenomena Awan saat Pilkada, Begini Penjelasan BMKG

Untuk mendukung ekspor hasil tembakau, Pemerintah telah memberikan fasilitas berupa penundaan pembayaran pita cukai untuk penjualan lokal bagi perusahaan yang dominan melakukan ekspor dari normalnya 60 hari menjadi 90 hari, fasilitas Kawasan Berikat (KB), dan Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE).

Kebijakan ini akan berlaku pada 1 Februari 2021. Saat ini, peraturan terkait Kebijakan Cukai Hasil Tembakau 2021 sedang dalam proses perundangan dan dalam waktu dekat akan segera diundangkan.

Pemerintah akan memastikan proses transisi dari kebijakan CHT tahun 2020 menuju tahun 2021 akan berjalan tanpa hambatan.

Baca Juga: Cek Nama Anda, BST Diperpanjang Hingga 2021

Pada kesempatan pertama setelah diundangkan, DJBC dan pihak terkait akan melakukan sosialisasi aturan terkait. Di saat yang sama, DJBC juga membentuk satuan tugas untuk mengawal proses transisi.

Pemerintah berkomitmen untuk tetap mengedepankan industri padat karya dan yang menggunakan konten lokal yang tinggi, antara lain tembakau lokal dan cengkeh.

Pemerintah juga siap mendorong dan memfasilitasi industri hasil tembakau yang memiliki potensi untuk mendorong kegiatan ekspor, sesuai dengan agenda program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

Melalui bauran kebijakan yang dikeluarkan bersamaan dengan kebijakan tarif cukai hasil tembakau, Pemerintah berharap industri hasil tembakau akan pulih di tahun 2021. ***

 

Editor: Ainur Rofik

Sumber: kemenkeu.go.id


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah