Sistem Kemitraan Ojek Online Bermasalah dan Merugikan Ojol, Ini Penjelasan Peneliti

- 1 Mei 2021, 11:58 WIB
Ilusstrasi pengemudi ojek online.
Ilusstrasi pengemudi ojek online. /ANTARA

PORTAL SULUT - Institute of Governance and Public Affairs (IGPA) Universitas Gadjah Mada melakukan penelitian mengenai sistem kemitraan yang ditawarkan industri transportasi dan kurir online seperti di Gojek, Grab, Maxim, Shopee Ekspress, dan perusahaan platform sejenis di Indonesia.

Keterangan tertulis para peneliti di laman Theconversation, dalam penelitian tersebut mereka mewawancarai secara mendalam 290 tukang ojek online (Ojek roda dua dan juga roda empat) di DKI Jakarta, DI Yogyakarta, dan Bali pada Juni-Oktober 2020.

Dari hasil interview, mereka menyimpulkan ada empat hal yang menyebabkan hubungan kemitraan yang diterapkan oleh perusahaan seperti Ojek Online merupakan hal yang semu dan palsu.

Baca Juga: AKHIRNYA Kebohongan Elsa Dibongkar Nino, Kondisi Al Memburuk, Trailer Ikatan Cinta 1 Mei 2021

Pertama, semua keputusan penting dalam proses kerja menjadi kewenangan perusahaan platform, para ojol tidak memiliki hak untuk bersuara dalam proses mengambil keputusan yang seharusnya mereka peroleh ketika statusnya adalah mitra.

Keputusan seperti penentuan tarif, sanksi, bonus, orderan, algoritme, dan mekanisme kerja dalam kemitraan diputuskan sepihak oleh perusahaan, tanpa ada ruang bersuara bagi para ojol.

Kedua, Perusahaan mengontrol proses kerja dari ojol sendiri. Konsep kemitraan yang ditawarkan perusahaan aplikasi diklaim dapat mendorong model kerja yang dapat memberi kebebasan dan kemerdekaan dalam bekerja pada mereka yang bermitra.

Baca Juga: Bocoran Ikatan Cinta 1 Mei 2021: Aldebaran Sadarkan Diri, Reyna Tunjukan Hasil Tes DNA ke Nino

Namun pada kenyataannya, perusahaan aplikasi mengendalikan para ojol sebagaimana kontrol yang sering kita temui di industri manufaktur dengan hubungan antara buruh dan pengusaha.

Perusahaan aplikasi sendiri nyatanya memberikan sanksi ketika ojol dinilai oleh sistem perusahaan bekerja dengan malas atau tidak disiplin, sehingga akun ojol dihukum, dibuat sepi order atau tidak dapat membuka akun aplikasi beberapa saat—bahkan hingga dapat diputus mitra.

Ketiga, erusahaan memonopoli akses informasi dan data. Data yang terkumpul di perusahaan platform sendiri merupakan hasil akumulasi informasi dari kerja Ojol. Status sebagai tidak serta merta membuat para Ojol dapat mengakses informasi dan data di perusahaan platform.

Baca Juga: Menaker: THR Dibayar Penuh, Tepat Waktu, dan Tidak Dicicil, Jika Melanggar Lapor Disini

Tidak adanya akses kendali atas akses dan kendali data yang kemudian diatur oleh sistem algoritma memingirkan Ojol dari informasi tentang bagaimana tata kelola yang seharusnya dilakukan untuk saling menguntungkan dalam hubungan kemitraan.

Keempat, hubungan kemitraan yang dijalankan bertentangan dengan aturan hukum di Indonesia. Ada tiga praktik hubungan kerja antara perusahaan platform dan ojol di atas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2013 tentang pelaksanaan UU tersebut yang mengatur tentang kemitraan.

Dalam penelitian ini mendapat informasi bahwa praktik kemitraan yang berjalan tidak menerapkan prinsip-prinsip kemitraan yaitu saling memerlukan, saling mempercayai, saling memperkuat, dan saling menguntungkan, seperti aturan dalam Pasal 1 Ayat 13 UU 20 Tahun 2008.

Baca Juga: Bocoran Ikatan Cinta 1 Mei 2021: Mama Sarah Buntuti Elsa, Jatah Kedua Ricky Kacau, Kebohongan Terbongkar

Itu terjadi karena adanya hubungan yang tidak setara dan memunculkan dominasi perusahaan platform atas mitra mereka, yaitu ojol.

Kedudukan para pihak dalam perjanjian berlangsung tidak setara dan terlihat dari isi perjanjian berupa hak dan kewajiban yang tidak seimbang.

Dampak dari keputusan sepihak ini membuat 84,83% responden ojol dalam penelitian ini menilai jika perubahan kebijakan tentang tarif, bonus, potongan, hingga sanksi cenderung merugikan pihak ojol dan menguntungkan pihak perusahaan platform. Hanya 8,97% yang menyebut perubahan kebijakan itu menguntungkan dan 6,20% tidak mau menjawab.***

Editor: Ainur Rofik

Sumber: theconversation.com


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah