Koalisi Reformasi Sektor Keamanan : Uji Kepatutan dan Kelayakan Kapolri Minim Evaluasi HAM

22 Januari 2021, 12:45 WIB
Resmi Komjen Listyo Sigit Gantikan Jendral Idham Azis /DPR RI

PORTAL SULUT - Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo, sebagai calon tunggal Kapolri pada 20 Januari 2020 kemarin sudah menjalani uji kelayakan dan kapatutan di Dewan Perwakilan Rakyat RI.

Dalam tahapan tersebut Listyo memaparkan visi misi serta kebijakan yang akan dibuatnya jika disetujui menjadi Kapolri. Program - program yang disampaikan Listyo dalam Road Map-nya yang punya tema besar “Transformasi Menuju Polri yang Presisi” dibagi atas 4 bagian besar.

Mahfud MD selaku ketua Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) berujar dalam cuitan media sosialnya jika janji Listyo Sigit yang penting adalah "Jika ada anggota atau pejabat Polri yg terlibat kejahatan spt bandar atau pengedar narkoba maka akan dipecat dan dipidanakan." Tulis Mahfud MD.

Baca Juga: Masitoh, Kuasa Hukum juga Anak Kandung dari Ayah yang Digugat Rp 3 M Meninggal Dunia

Namun, KontraS, Amnesty International Indonesia, HRWG, LBH Jakarta, Setara Institute, PBHI, dan ICW yang tergabung dalam Koalisi Reformasi Sektor Keamanan dalam rilis pers mereka 21 Januari 2020 menyayangkan minimnya evaluasi sektor penegakan HAM dalam uji kelayakan dan kepatutan tersebut.

"Ada sejumlah persoalan yang berpeluang menjadi masalah bagi pemajuan, perlindungan, dan pemenuhan HAM ke depan," Tulis Koalisi Reformasi Sektor Keamanan yang dimuat di laman Amnesty International Indonesia.

Ada tiga poin penting yang Koalisi Reformasi Sektor Keamanan soroti. Pertama, pengaktifan pamswakarsa, mereka menilai jika kebijakan tersebut berpotensi melanggar HAM dikarenakan tidak ada kualifikasi yang jelas mengenai organisasi yang dapat dikukuhkan sebagai Pam Swakarsa.

Baca Juga: Wilayah Ini Terdampak Gempa 7,0 SR di Sulut, Beberapa Rumah Rusak

"Tidak ada pengaturan yang jelas mengenai batasan wewenang Polri dalam melakukan pengerahan massa Pam Swakarsa dalam menjalankan sebagian tugas dan fungsi Polri. Hal ini berpotensi berujung pada peristiwa kekerasan, konflik horizontal, dan penyalahgunaan wewenang," tulis Koalisi Reformasi Sektor Keamanan dalam rilisan mereka.

Kedua, mereka memandang pemberian rasa aman investor berpotensi menjadikan Polri sebagai alat kepentingan pemodal dan elite tertentu.

"Padahal UU No. 2/2002 tentang Kepolisian RI menegaskan arah institusi Polri adalah alat kepentingan publik dengan memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat. Polri harus netral dalam dinamika sosial-ekonomi," jelas Koalisi Reformasi Sektor Keamanan dalam rilis mereka.

Baca Juga: Kasus Korupsi Pemecah Ombak, Kejati Sulut Tahan Adik Kandung Bupati Minahasa Utara

Keberpihakan pada investor ini menurut mereka telah berujung pada tindakan anggota Polri yang melanggar HAM di sejumlah wilayah, termasuk Surat Telegram Rahasia STR/645/X/PAM.3.2./2020 yang materinya bias kepentingan elite dan pemodal.

Lebih lanjut, Koalisi Reformasi Sektor Keamanan khawatir kebijakan tersebut akan meningkatkan kriminalisasi atau pemidanaan yang dipaksakan terhadap aktivis lingkungan yang kerap mengkritik dan menolak korporasi yang merusak lingkungan.

Poin ketiga yang disampaikan tuKoalisi Reformasi Sektor Keamanan dalam rilisan mereka adalah tidak adanya solusi konkret mengenai berbagai permasalahan mendasar di tubuh Polri seperti penyiksaan, extrajudicial killing, penempatan anggota Polri pada jabatan di luar organisasi Polri, kontrol pertanggungjawaban etik, korupsi di tubuh Polri, dan penghalangan bantuan hukum.

Baca Juga: 4 Hari Ini Baik Memulai Usaha Menurut Primbon Jawa

"Akuntabilitas atas brutalitas polisi dalam penanganan aksi juga membutuhkan perhatian khusus. Polisi kerap bertindak brutal dalam menangani unjuk rasa seperti tolak Undang-Undang Cipta Kerja pada Oktober 2020, unjuk rasa mahasiswa dan pelajar saat gerakan #reformasidikorupsi pada September 2019 dan unjuk rasa protes Pemilu pada Mei 2019 tanpa konsekuensi hukum yang jelas dan akuntabel." Terang Koalisi Reformasi Sektor Keamanan dalam rilis mereka

Menurut mereka tindakan brutal tersebut terus terjadi karena tidak ada evaluasi menyeluruh dan minimnya pengawasan serta akuntabilitas terkait penggunaan kekuatan dalam menangani unjuk rasa.

Faktor lainnya menurut mereka tidak adanya penghukuman secara tegas baik secara pidana maupun etik bagi aparat yang melakukan tindak kekerasan ataupun atasan yang membiarkan tindakan tersebut.

Baca Juga: Mendikbud Nadiem: Se - Indonesia Sudah 15 Persen Sekolah Laksanakan Belajar Tatap Muka

"Kami berpendapat jika masalah ini tidak dievaluasi maka sulit untuk memiliki pemolisian demokratis di bawah kepemimpinan Listyo. Ada 3 (tiga) indikator yaitu: pertama, melayani kepentingan elite, penguasa atau pemodal; kedua, tindakan pemolisian yang tak berdasarkan hukum atau penggunaan kekuatan yang eksesif; dan, ketiga, lemahnya pengawasan terhadap tindak pemolisian." Jelas Koalisi Reformasi Sektor Keamanan dalam rilis mereka.

Berdasarkan hal tersebut, jKoalisi Reformasi Sektor Keamanan dalam rilis mereka mendesak Komjen Listyo Sigit Prabowo sebagai calon tunggal Kapolri mengevaluasi kembali terkait rencana kebijakan yang tidak sejalan dengan nilai-nilai pemolisian yang demokratis.

Koalisi Reformasi Sektor Keamanan mendsak agar segera melakukan reformasi internal kepolisian secara keseluruhan dengan membatalkan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pengamanan Swakarsa.

Baca Juga: 16 Tim Bertarung di Grand Final PMGC di Dubai, Hadiahnya Rp 28 Miliar

Tidak hanya itu, Koalisi Reformasi Sektor Keamanan juga meminta bahwa Polisi memposisikan diri secara netral dalam menyikapi dinamika sosial-politik-ekonomi masyarakat serta mengevaluasi cara Polri mengeluarkan arahan kepada jajarannya dalam bentuk surat telegram yang membatasi kebebasan sipil seperti saat peristiwa penanganan aksi massa penolak UU Cipta Kerja.

Tidak lupa juga Koalisi Reformasi Sektor Keamanan meminta Polri mengevaluasi penggunaan kekerasan secara eksesif dengan melakukan penegakan hukum dan akuntabilitas secara tegas kepada aparat kepolisian yang telah melakukan kekerasan eksesif dalam menangani aksi massa dan memperbaiki sistem pengawasan internal Polri.***

Editor: Ainur Rofik

Tags

Terkini

Terpopuler