Inilah Filosofis Serta Sejarah Singkat Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka

- 3 Maret 2022, 12:02 WIB
Hari Raya Nyepi
Hari Raya Nyepi /unsplash/Ruben Hutabarat

PORTAL SULUT - Hari raya Nyepi, jatuh pada hitungan Tilem Sasih Kesanga, yang dipercaya merupakan hari penyucian Dewa-dewa yang berada di pusat samudera.

Hari raya Nyepi, merupakan hari besar umat Hindu yang dirayakan pada setiap pergantian Tahun Saka.

Inilah fakta tentang sejarah keberadaan dan makna filosofis hari raya Nyepi.

Baca Juga: 4 Usaha Ternak Cepat Panen dan Menguntungkan, Nomor 4 Bisa Omzet 30 Jutaan

Melansir dari kanal YouTube to do Strada, berikut penjelasan mengenai sejarah keberadaan dan makna filosofis hari raya Nyepi, berikut penjelasanya.

Hari raya Nyepi, jatuh pada hitungan Tilem Sasih kesanga yang dipercayai merupakan hari penyucian dewa-dewa yang berada di pusat samudra yang membawa intisari.

Amerta akhir kehidupan lebih berasal dari kata sepi, sunyi, senyap.

Hari raya Nyepi, sebenarnya merupakan perayaan Tahun baru Hindu.

Berdasarkan penanggalan kalender Saka, yang dimulai sejak Tahun 78 Masehi.

Hari raya Nyepi, tercipta berdasarkan cerita dari kitab suci Weda, yang menceritakan bahwa dimana pada awal abad Masehi.

Bahkan sebelumnya negeri India, dan wilayah sekitarnya, digambarkan selalu mengalami krisis dan konflik sosial berkepanjangan.

Pada saat itu banyak terjadi pertikaian antar suku-suku bangsa.

Seperti suku Saka, Pa Hiava, Yueci, Yavana, dan Malaya, dengan kondisi menang dan kalah yang silih berganti.

Dinamika perebutan kekuasaan antar suku pada akhirnya menyebabkan terombang-ambing nya kehidupan beragama pada saat itu.

Singkat cerita, pertikaian dan konflik yang berkepanjangan tersebut, pada akhirnya dimenangkan oleh suku Saka, di bawah pimpinan Raja Kanishka Satu.

Baca Juga: Air Mata Tumpah Setelah Bebas dari Penjara, Angelina Sondakh: Maaf kepada Masyarakat Indonesia, Saya Menyesal

Beliau kemudian dinobatkan menjadi raja dari turunan Saka, pada tanggal satu, atau satu hari sesudah Tilem bulan satu Caitra Masa.

Tahun satu Saka, yang jatuh pada bulan Maret Tahun 78 Masehi.

Untuk memperingati sesuatu hal yang baik telah terjadi, berkat keberhasilan kepemimpinan Raja Kanishka Satu, dalam menyatukan bangsa yang tadinya bertikai dengan paham keagamaan yang saling berbeda.

Maka terciptalah hari suci Nyepi, sejak itu pula kehidupan bernegara, bermasyarakat, dan beragama, di India mulai ditata ulang.

Semua sistem penanggalan kalender suku Saka, akhirnya dipakai oleh sistem kerajaan di India pada waktu itu.

Singkat cerita, Agama Hindu kemudian berkembang masuk ke Nusantara.

Sistem penanggalan Saka, diperkirakan berkembang di Indonesia setelah masuknya pengaruh Agama Hindu ke Indonesia pada abad ke 4 Masehi.

Penanggalan Saka tersebut, dibawa oleh seorang pendeta bangsa Saka, yang bergelar Ajisaka dari Kesatrapa Gujarat India, yang mendarat di Kabupaten Rembang Jawa Tengah, pada Tahun 456 Masehi.

Demikianlah awal mula perkembangan Tahun Saka di Indonesia.

Pada zaman Majapahit, Tahun Saka, benar-benar telah eksis menjadi kalender kerajaan.

Di kerajaan Majapahit, pada setiap bulan Caitra, atau Maret.

Baca Juga: Terlahir Sebagai Juara, Hidup Kaya Dengan Uang Berlimpah, Inilah Tanggal Lahir Terpilih Menurut Ahli Kejawen

Tahun Saka, selalu diperingati dengan upacara keagamaan.

Di alun-alun Majapahit, berkumpul seluruh kepala desa, prajurit, sarjana, Pendeta Siwa, Budha, dan Sri Baginda Raja.

Topik yang dibahas dalam pertemuan itu adalah peningkatan moral masyarakat.

Perayaan Tahun Saga, pada bulan caitra ini, dijelaskan dalam Kakawin Negarakertagama, oleh Rakawi Prapanca pada Pupuh 8,12, 85, 86 sampai dengan 92.

Di Bali, Perayaan Tahun Saka, ini dirayakan dengan hari raya Nyepi.

Berdasarkan petunjuk Lontar Sundarigama, dan Sanghyang Aji Swamandala.

Hari raya Nyepi, ini dirayakan pada Sasih Kesanga, setiap Tahun.

Biasanya jatuh pada bulan Maret, atau awal bulan April.

Beberapa hari sebelum Nyepi, biasanya diadakan upacara Melasti, dan upacara Ini dilaksanakan sebelum upacara Tawur Kesanga.

Upacara Tawur Kesanga ini, dilangsungkan pada Tilem Kesanga.

Keesokan harinya pada tanggal Apisan Sasih Kedasa, dilaksanakan Brata Penyepian.

Setelah Nyepi, dilangsungkan Ngembag Geni, dan kemudian umat melaksanakan Dharma Santi Penyepian.

Dalam Lontar Eka Pratama, dan busana Bali disebutkan bahwa, Brahma memiliki tiga orang Putra yaitu Sang Siwa, Sang Buddha, dan Sang Pujangga.

Ketiga putra beliau ini, diberi tugas untuk Amertista Akasah, Pawarna, dan Sarwa Prani.

Oleh karena itu, pada saat upacara Tawur Kesanga, upacara dipimpin oleh tiga pendeta ini, yang disebut Drisadaka.

Baca Juga: SIMAK! 12 Ciri Fisik Wanita Baik Hati Menurut Primbon Jawa

Beliau mensucikan secara spiritual 3 alam ini, Bhur Loka, Buah Loka, dan Swah Loka.

Sebelum dilaksanakan Tawur Kesanga, dilangsungkan lah upacara Melasti.

Tujuan upacara Melasti, dijelaskan dalam Lontar Sanghyang Aji Swamandala.

Adapun tujuan Melasti adalah untuk melenyapkan penderitaan masyarakat, melepaskan kepapaan, dan kekotoran alam.

Lontar Sundarigama, menambahkan bahwa tujuan Melasti adalah untuk mengambil sari-sari air kehidupan Amertha Kamandalu, di tengah-tengah samudera.

Jadi, tujuan Melasti adalah untuk melenyapkan segala kekotoran diri, dan alam, serta mengambil sari-sari kehidupan ditengah samudra.

Samudra adalah Lambang lautan kehidupan yang penuh gelombang suka duka.

Maka dalam gelombang Samudera kehidupan itulah kita mencari sari-sari kehidupan dunia.

Pada tanggal Satu Sasih Kedasa, dilaksanakanlah Jatur Brata Penyepian.

Jatur Brata Penyepian, adalah empat pantangan yang wajib dilaksanakan dan dipatuhi.

Diantaranya adalah Amati Karya, yakni tidak berkegiatan dan bekerja.

Amati Geni, yakni tidak menyalakan api.

Baca Juga: 3 Weton Ini Akan Miskin Permanen Menurut Primbon Jawa, Ternyata Ini Penyebabnya, Kamu Termasuk?

Amati Lelungan, yakni tidak bepergian, dan Amati Lelanguan, yakni tidak mengadakan hura-hura.

Tujuan utama Brata Penyepian, adalah untuk menguasai diri menuju kesucian hidup, agar dapat melaksanakan Dharma sebaik-baiknya menuju keseimbangan, Dharma, Artha, Kama, dan Moksa.

Demikianlah ulasan ringkas tentang sejarah keberadaan dan makna filosofis dari hari raya Nyepi.

Adapun kesalahan Pemaknaan, atau penulisan di atas makan penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya, karena itu bukan merupakan suatu kesengajaan, melainkan kesalahan dari penulis itu sendiri dan kiranya bisa di maafkan terimakasih.***

Editor: Ralki Sinaulan


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x