Apa Yang Hilang Dari Pendidikan Indonesia? Dunia Pendidikan Indonesia Masi Menghadapi Tantangan Yang Sulit

- 28 November 2021, 07:45 WIB
Ilustrasi bersekolah
Ilustrasi bersekolah /TRENGGALEKPEDIA.COM/Okpriabdhu Mahtinu.

PORTAL SULUT – Setelah dinyatakan merdeka selama 75 tahun, Indonesia masih mengalami tantangan yang yang sulit dalam dunia pendidikan.

Pada 1 juni, 1945 Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), tengah pada sampai hari terakhir dari rapat peratamanya.
Pada saat itu Soekarno meberikan sebuah pernyataan yang menarik.

Dia berkata “ Bahwa kemerdekaan political independence ialah satu jembatan emas dan di seberang jembatan itu lah kita akan menyempurnakan masyarakat kita.”
Pada dasarnya bila indonesia ingin sejatera atau cerdas harus merdeka dulu.

Baca Juga: Desember WNI Dapat Izin ke Arab Saudi, Wajib Karantina Setelah Sampai

Ada juga pendapat yang mirip seperti Tokoh Tan Malaka, dalam bukunya madilog.
Guru dan tokoh revolusioner ini berkata “ Kalau Indonesia tidak merdeka, maka ilmu alam itu terbelenggu pula”.

Kini setelah 75 tahun Indonesia merdeka apakah kita sudah menggunakan jembatan emas ini dengan benar?

Apakah Ilmu-Ilmu alam sudah bebas dari belenggunya?

Bagaimana kah nasib Indonesia khususnya dalam pendidikan?

Dilansir portal.sulut.pikiran-rakyat.com. unggahan dari kanal chanel YouTube Hipotesa.

Berdasarkan data World Bank partisipasi pendidikan di Indonesia bisa di katakan sangat tinggi meskipun demikian, Indonesia juga menempati peringkat yang sangat rendah dalam hal membaca, matematika, dan iIPA.

Bahkan dalam kehadiran gender pun kita tidak terlalu baik.
Tan Malaka misalnya menggap pendidikan sebagai alat untuk bertahan hidup sejahtera dan membantu kaum jelata.

Idealnya pendidikan harus membuat masyarakat dalam menghadapi berfikir secara logika dan tidak mengandalkan Hal-Hal yang gaib dan mistis.
Ilmu alam dan matematika memang harus di kuasai namun tentu tidak semua anak sama.

Baca Juga: Ini Jadwal PPKM Level 3 Nataru dari Pemerintah serta Tata Cara Pelaksanaan Ibadah Natal Tahun 2021

Dan disinilah KI Hajar Dewantara dengan sistem pendidikan (Among) hadir, sistem ini mengedepankan Unsur-Unsur pembelajaran, keterampilan dan Nilai-Nilai tradisional dan mengasah keterampilan yang di minati oleh sang anak.

Masing-Masing anak tidak di wajibkan untuk memahami dan mendalami seluruh mata pelajaran.

Dan tentunya R.A.Kartini memiliki semangat bahwa pendidikan harus bisa di dapatkan secara setara oleh kaum pria maupun wanita.

Lalu mengapa impian dan idealisme dari ke tiga tokoh ini masi terhambat?
1. Orde lama
Sementara Indonesia masi kekuranga Guru yang kompeten, satabilitas Indonesia juga terancam oleh perpecahan dan perang digin yang berkecamuk.
Pemerintahan belum sempat mencetak Guru-Guru berkualitas bahkan dari sedkit Guru yang sudah ada banyak yang bergabung dengan angkatan bersenjata untuk berjuang.

Dalam situasi ini kuantitas Guru lebih di prioritaskan dari kualitas tujuan Guru dan pendidikan pun lebih di arahkan dalam menanamkan patrotisme, sehingga pengembangan sains seperti yang di impikan Tan Malaka pun masi harus menunggu.

2. Pendidikan orde baru
Pada era ini intervensi pemerintahan pusat terhadap pendidikan yang kuat tidak serta merta hilang begitu saja, malah meningkat.
Lebih parahnya lagi semua guru PNS harus mendukung haluan partai tertentu dan sesuai kebijakan negara.

Karena fokusnya pendidikan di arahkan ke pembangunan negara pendidikan terlalu seragam dan fokus ke ilmu eksaksehingga tidak terlalu membuka ruang bagi ilmu kesenian dan sosisal.
Siswa siswi pun di harapkan mempelajari semua hal walaupun tidak di minati.
Pendidikan terus memerlukan guru yang berkualitas, namun di Indonesia hal ini masi jauh dari kenyataan.

Baca Juga: Insentif Guru PAI Non PNS Cair, Ini Syarat dan Prosesnya

Berdasarkan data kemendikbud Rata-Rata hasil dari uji kompetensi Guru di indonesia masi tidak jauh angka lima puluh, tentu ini tidak sepenuhnya salah Guru sendiri.
Ada banyak permasalahan insentif menjadi Guru berkualitas yang masih kurang dan bebagai hal lainnya.

Pemerintahan harus turut meningkatkan kinerja Guru bila tidak bagaimana mungkin siswa di paksa untuk menjadi lebih baik.
Dari hasil pisa 2018, di Indonesia siswi cenderung jauh lebih baik dari matematika,IPA dan membaca dari pada siswa.

Namun di saat kita melihat data potensi ini tidak berlanjut ke jenjang yang lebih tinggi.
Berdasarkan riset dari Kementrian Pemberayaan Perempuan dan Anak-Anak, presentase Laki-Laki 15 tahun ke atas yang telah menamatkan pendidikan SMA ke atas lebih tinggi di bandingkan perempuan.

Di sisi lain presentase perempuan 15 tahun ke atas yang tidak menamatkan pendidikan sekolah dasar dan tidak atau belum perna bersekolah sama sekali, lebih tinggi di bandingkan Laki-Laki dan di pedesaan maupun perkotaan.
Presntase perempuan yang tidak tamat SD lebih banyakdi bandingkan Laki-Laki.

Di tambah lagi berdasarkan riset Bank Dunia tingkat partisipasi ketenaga kerja dari Laki-Laki pun masi jauh lebih tinggi di bandingkan perempuan.
Sepertinya impian Kartini masi jauh dari kenyataan.

Pada intinya bahwa kita tidak kehilangan murid yang cerdas atau Guru yang kompeten, kita hanya belum memiliki sistem pendidikan yang kondusif untuk mengembangkan bakat dan minat siswa ataupun kompetensi dari Guru.

Meskipun demikian kita tidak boleh hanya mengandalkan situasi.

Apapun yang kita hadapi ke depan pendidikan dan kegiatan belajar adalah sesuatu yang harus terus kita kejar.***

Editor: Harry Tri Atmojo


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x