Kisah Pemilik Ajian Pancasona Patih Djoyodigdo, Makamnya Digantung dan Dipercaya Dijaga Mahluk Gaib

- 24 Mei 2023, 12:48 WIB
Kisah Pemilik Ajian Pancasona Patih Djoyodigdo/twitter
Kisah Pemilik Ajian Pancasona Patih Djoyodigdo/twitter /

PORTAL SULUT - Jika menyebut tentang makam gantung, maka orang akan teringat Djoyodigdo.

Djoyodigdo adalah seorang Patih di Kadipaten Blitar Jawa Timur yang sakti mandraguna.

Kesaktian sang Patih dikarenakan memiliki ilmu aji pancasona yang bisa hidup kembali apabila jasadnya menyentuh tanah.

Sebelum diangkat menjadi Patih, Djoyodigdo muda dikenal suka melakukan tirakat atau lelakon dan berpuasa.

Karenanya ia mendapatkan berbagai macam ilmu kanuragan dan kesaktian.

Bahkan gurunya tidak hanya berasal dari bangsa manusia saja, melainkan juga dari bangsa lelembut atau bangsa jin.

Maka tidak heran, Djoyodigdo bisa menguasai Ajian Pancasona atau yang biasa disebut juga Ajian Rawa Rontek.

Djoyodigdo adalah sahabat sekaligus pengikut Pangeran Diponegoro.

Baca Juga: Keistimewaan Berpuasa Dihari Kelahiran Konon Apapun Keinginan Bakal Terpenuhi

Dia juga memiliki keturunan darah biru atau trah ningrat dari kerajaan Mataram, karena merupakan Putra Adipati Kulon Progo.

Kesaktiannya teruji, ketika terjadi peperangan antara Belanda dengan Pangeran Diponegoro.

Sebagai pengikut Pangeran Diponegoro, Djoyodigdo yang waktu itu masih berusia 30 tahun ikut melakukan perlawanan dengan Belanda.

Bahkan tetap ikut perang gerilya, meskipun saat itu Pangeran Diponegoro telah ditangkap dan diasingkan.

Djoyodigdo menjadi orang yang paling ditakuti Belanda karena kesaktian Aji Pancasona yang dia miliki.

Dia dapat beberapa kali hidup kembali, meskipun sudah dieksekusi oleh para tentara Belanda.

Begitu jasadnya dibuang, dia dapat hidup kembali tanpa sepengetahuan dari tentara Belanda.

Namun pada saat itu, wilayah Yogyakarta banyak dijaga oleh para tentara Belanda, maka Djoyodigdo memilih berperang secara gerilya dan menuju ke arah timur beserta para pengikutnya.

Hingga akhirnya, sampailah Djoyodigdo beserta pengikutnya di wilayah Blitar bagian selatan.

Di kota ini, tanpa sepengetahuan penguasa Kota Blitar beserta pasukannya, ia melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda.

Sehingga Belanda merasa takut terhadap kesaktian Djoyodigdo.

Akhirnya Belanda melepaskan pengawasan terhadap Kadipaten Blitar.

Dengan adanya hal tersebut, membuat Adipati Blitar merasa heran.

Sang Adipati jadi heran, siapa yang membuat Belanda melepaskan pengawasan terhadap daerahnya tersebut?

Kemudian Adipati Blitar mengirim utusan telik sandi untuk mencari tahu.

Pada akhirnya, utusan telik sandi tersebut menemukan Djoyodigdo di sebuah hutan yang masuk di wilayah Blitar Selatan.

Atas perintah Adipati Blitar, utusan telik sandi mengundang Djoyodigdo untuk datang ke pendopo.

Namun permintaan utusan Adipati Blitar ini ditolak dengan halus.

Alasannya adalah pada waktu itu masih sibuk melatih pasukannya untuk melawan tentara Belanda.

Karena penolakan halus dari Djoyodigdo ini, maka utusan telik sandi langsung pulang dan melaporkan pada Adipati Blitar.

Dua tahun kemudian Adipati Blitar kembali mengirim utusan.

Baca Juga: Ternyata Ada Lho Instansi dan Daerah yang Tak Mengusulkan Rekrutmen CASN 2023, ini Daftarnya

Namun saat itu Patih di Kadipaten Blitar mangkat atau meninggal dunia dan harus segera dicarikan pengganti.

Maksud Adipati mengirimkan utusannya yang kedua kalinya ini adalah agar Djoyodigdo bersedia menjadi Patih di Kadipaten Blitar.

Dikarenakan banyaknya tentara Belanda yang meninggalkan daerah Blitar oleh karena serangan dari pasukannya, maka Djoyodigdo bersedia menjadi Patih di Kadipaten Blitar.

Sebagai keturunan darah biru atau trah ningrat yang pernah tinggal di Keraton, ketika Djoyodigdo diangkat menjadi Patih sudah tidak asing lagi dengan sistem pemerintahan.

Maka sang Patih pun mampu mengambil kebijakan yang sangat baik.

Hal inilah yang membuat heran sang Adipati Blitar, sehingga sang Adipati memberinya hadiah sebidang tanah yang sekarang berada di Jalan Melati Kota Blitar.

Dari pemberian tanah tersebut, Patih Djoyodigdo akhirnya membangun rumah besar beserta keluarganya yang diberi nama Pesanggrahan Djoyodigdo

Rumah yang dibangun oleh Djoyodigdo ini hingga saat ini masih berdiri kokoh.

Sebagai manusia biasa, meskipun mempunyai Aji Pancasona, Djoyodigdo akhirnya wafat pada tahun 1905 di usia 100 tahun lebih.

Seseorang yang mempunyai Ajian Pancasona ini dikatakan hanya bisa wafat, apabila tubuhnya dipisah, menyeberangi sungai, dan digantung agar tidak menyentuh tanah.

Jika jasadnya menyentuh tanah, maka bagian-bagian tersebut akan bersatu dan orang yang mempunyai ajian ini bisa hidup kembali.

Djoyodigdo dikabarkan pernah wafat sehari tiga kali.

Setiap akan dikuburkan, saat jasadnya menyentuh tanah, maka akan hidup lagi dan langsung bangkit.

Supaya tidak bisa hidup lagi, maka ketika Djoyodigdo wafat, jasadnya digantung, yang sebelumnya dimasukkan di dalam peti besi dan diberi tiang penyangga sebanyak 4 buah yang juga terbuat dari besi.

Sehingga masyarakat Blitar menyebutnya dengan makam gantung.

Makam tersebut terletak di Jalan Melati Blitar Jawa Timur, sekitar 1 km dari makam Presiden Soekarno.

Makam Eyang Djoyodigdo tersebut pada hari-hari tertentu banyak didatangi oleh peziarah terutama dari kalangan spiritual.

Berbeda dengan pezirah biasa, kaum spiritualis ini datang ke makam Eyang Djoyodigdo dengan maksud tertentu yakni ingin berguru ke Eyang Djoyodigdo secara gaib.

Tujuannya adalah untuk mendapatkan titisan ilmu Ajian Pancasona.

Makam Eyang Djoyodigdo diyakini juga dijaga oleh dua sosok gaib berwujud dua binatang besar yakni berupa ular raksasa sebesar pohon kelapa dan seekor harimau loreng sebesar anak sapi.

Dua sosok gaib penjaga makam ini konon merupakan parewangan pribadi Eyang Djoyodigdo semasa hidup yang berasal dari bangsa lelembut atau jin yang berwujud binatang.

Karena kesetiaannya kepada majikannya, ketika Eyang wafat, maka dua parewangan tersebut masih setia menjaga majikannya tersebut.*

Editor: Harry Tri Atmojo


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x