Jelang Ramadhan 2024, Ini Cara Membayar Fidyah, Kriteria Orang dan Waktunya

- 1 Maret 2024, 06:44 WIB
Ini Cara Membayar Fidyah, Kriteria Orang dan Waktunya/https://www.freepik.com/
Ini Cara Membayar Fidyah, Kriteria Orang dan Waktunya/https://www.freepik.com/ /

PORTAL SULUT - Bulan suci Ramadhan 2024 segera tiba. Muhammadiyah telah menetapkan 1 Ramadan 1445 H bertepatan pada 11 Maret 2024.

Ini berarti shalat tarawih pertama akan dilaksanakan pada 10 Maret 2024.

Penetapan itu tertuang dalam Maklumat Pimpinan Pusat Muhammadiyah tentang Hasil Hisab Ramadhan, Syawal, dan Zulhijah 1445 Hijriyah Nomor 1/MLM/I.0/E/2024 yang ditandatangani oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir dan Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu'ti.

Sementara Pemerintah baru akan ditetapkan melalui sidang isbat yang digelar akhir Syaban nanti.

Melansir laman resmi Kementerian Agama, Sidang Isbat Penetapan Awal Ramadhan 1445 Hijriah akan dilaksanakan pada 10 Maret 2024.

Salah satu yang wajib dilakukan sebelum melaksanakan puasa ramadhan adalah membayar hutang puasa ramadhan sebelumnya.

Lalu, bagaimana dengan hukum dan aturan lainnya terkait puasa qadha? Berikut penjelasannya:

Baca Juga: Cara Mudah Lunasi Hutang Puasa dari Ustadz Adi Hidayat dan Batas Waktunya kata Ustadz Abdul Somad

1. Bagaimana Jika Qadha Tertunda Sampai Ramadhan Berikutnya?

Waktu dan kesempatan untuk melaksanakan qadha puasa Ramadhan adalah lebih dari cukup, yakni sampai bulan Ramadhan berikutnya.

Meski begitu, tidak mustahil jika ada orang-orang yang dengan alasan tertentu belum juga melaksanakan puasa qadha sampai tiba bulan Ramadhan berikutnya.

Kejadian seperti ini bisa disebabkan oleh berbagai hal, baik yang positif maupun negatif seperti; selalu ada halangan, sering sakit, bersikap apatis, bersikap gegabah, sengaja mengabaikannya, dan lain sebagainya.

Hal-hal itu pun mengakibatkan pelaksanaan puasa qadha ditangguhkan atau tertunda sampai tiba Ramadhan berikutnya.

Untuk penangguhan atau penundaan pelaksanaan qadha puasa Ra­madhan sampai tiba Ramadhan berikutnya tanpa halangan yang sah, maka hukumnya haram dan berdosa.

Sedangkan jika penangguhan tersebut diakibatkan lantaran uzur yang selalu menghalanginya, hal itu tidaklah berdosa.

Adapun mengenai kewajiban fidyah yang dikaitkan dengan adanya penangguhan qadha puasa Ramadhan tersebut, terdapat dua pendapat di antara para Fuqaha.

Pendapat pertama menyatakan bahwa penangguhan puasa qadha sampai tiba bulan Ramadhan berikutnya, tidak menjadi sebab diwajibkannya fidyah. Baik penangguhannya tersebut karena ada uzur atau tidak.

Pendapat kedua menyatakan bahwa penangguhan qadha puasa Ramadhan sampai tiba bulan Ramadhan berikutnya ada tafshil (rincian) hukumnya.

Yakni jika penangguhan tersebut karena uzur, tidak menjadi sebab diwajibkannya fidyah.

Sedangkan jika penangguhan tersebut tanpa uzur, menjadi sebab diwajibkannya fidyah.

Kewajiban fidyah akibat penangguhan puasa qadha sampai tiba bulan Ramadhan berikutnya, tidaklah didasarkan pada nash yang sah untuk dijadikan hujjah.

Oleh karena itu, pendapat tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya.

Dengan demikian, secara mutlak tidak ada kewajiban fidyah, walaupun penangguhan tersebut tanpa uzur.

2. Bagaimana Jika Meninggal Dunia sebelum Qadha?

Memenuhi kewajiban membayar utang adalah sesuatu yang mutlak. Baik yang berhubungan dengan manusia, apalagi berhubungan dengan Allah SWT.

Oleh karena itu, orang yang meninggal dunia sebelum memenuhi kewajiban puasa qadha, sama artinya dengan mempunyai tunggakan utang kepada Allah SWT. Sehingga pihak keluarga pun wajib memenuhinya.

Adapun dalam praktik pelaksanaan puasa qadha tersebut, ada dua pendapat.

Pendapat pertama menyatakan bahwa pelaksanaan puasa qadha orang yang meninggal dunia tersebut dapat diganti dengan fidyah, yaitu memberi makan sebesar 0,6 kg bahan makanan pokok kepada seorang miskin untuk tiap-tiap hari puasa yang telah ditinggalkannya.

Sabda Rasulullah SAW:

مَن مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيُامْ أُطْعِمَ عَنْهُ مَكَانَ يَوْمٍ مِسْكِيْنٌ

Artinya: "Siapa saja meninggal dunia dan mempunyai kewajiban puasa, maka dapat digantikan dengan memberi makan kepada seorang miskin pada tiap hari yang ditinggalkannya." (HR Tirmidzi, dari Ibnu 'Umar)

Akan tetapi, oleh perawinya sendiri yakni Imam Tirmidzi telah dinyatakan sebagai hadits gharib.

Bahkan oleh sebagian ahli hadits dinyatakan sebagai hadits mauquf, atau ditangguhkan alias tidak dipakai. Sehingga hadits ini tidak dapat dijadikan hujjah.

Meski begitu, para Fuqaha yang menyatakan pendapat ini menguatkannya dengan berbagai peristiwa seperti masyarakat Madinah melaksanakan hal yang seperti ini, yakni memberi makan kepada seorang miskin untuk tiap-tiap hari yang telah ditinggalkan puasanya oleh orang yang meninggal dunia.

Sedangkan pendapat kedua menyatakan bahwa jika orang yang memiliki kewajiban puasa qadha meninggal dunia, pihak keluarganya wajib melaksanakan puasa qadha tersebut sebagai gantinya dan tidak boleh dengan fidyah.

Sedangkan dalam prakteknya, pelaksanaan puasa qadha tersebut boleh dilakukan oleh orang lain, dengan seizin atau atas perintah keluarganya.

Sabda Rasulullah SAW:

مَنْ مَاتَ وَ عَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ

Artinya: "Siapa saja meninggal dunia dan mempunyai kewajiban qadha puasa, maka walinya (keluarganya) berpuasa menggantikannya." (HR. Bukhari dan Muslim, dari Aisyah)

Pendapat kedua ini dinilai lebih kuat lantaran hadits yang mendasarinya shahih.

Sementara pendapat pertama dinilai lemah karena hadits yang mendasarinya marfu', gharib atau mauquf.

Sedangkan peristiwa yang menguatkannya yaitu apa yang dilakukan oleh masyarakat Madinah ketika itu sama sekali tak dapat dijadikan hujjah, lantaran bukan suatu hadits.

Baca Juga: Materi Khutbah Jumat 1 Maret 2024 Tema 6 Hal Wajib Disiapkan Menyambut Ramadhan 2024

3. Bagaimana Jika Jumlah Hari yang Ditinggalkan Tidak Diketahui?

Melaksanakan puasa Qadha sebanyak hari yang telah ditinggalkan merupakan suatu kewajiban.

Hal itu berlaku baik puasa Qadha untuk di­rinya sendiri maupun untuk anggota keluarga yang telah meninggal dunia.

Akan tetapi dalam hal ini, tidak mustahil terjadi bahwa jumlah hari yang harus puasa qadha itu tidak diketahui lagi, misalnya lantaran sudah terlalu lama, atau memang sulit diketahui jumlah harinya.

Dalam keadaan seperti ini, alangkah bijak jika kita tentukan saja jumlah hari yang paling maksimum.

Hal itu adalah karena kelebihan hari puasa qadha adalah lebih baik ketimbang kurang.

Kelebihan hari puasa qadha tersebut pun akan menjadi ibadah sunnah yang tentunya memiliki nilai tersendiri.

4. Tata Cara Puasa Qadha

Puasa qadha sama seperti puasa pada umumnya, di mana kita disunnahkan untuk makan sahur sebelum fajar tiba.

Kemudian menahan lapar, haus, dan menghindari hal-hal yang dapat membatalkan ibadah puasa itu sendiri, terhitung dari mulai terbitnya fajar di pagi hari sampai terbenamnya matahari di waktu petang.

Lafal niat puasa qadha dibaca pada malam harinya seperti niat puasa Ramadhan adalah sebagai berikut:

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ قَضَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ لِلهِ تَعَالَى

Nawaitu shauma ghadin ‘an qadhā’I fardhi syahri Ramadhāna lillâhi ta‘âlâ.

Artinya: “Aku berniat untuk mengqadha puasa Bulan Ramadhan esok hari karena Allah SWT.”

Dalam melaksanakan puasa Qadha, kita juga harus mengetahui hari-hari ketika melakukan puasa haram hukumnya, yakni pada saat Idul fitri, Idul adha, dan hari Tasyrik (tanggal 11-13 bulan Dzulhijjah).

5. Fidyah

Bagi sejumlah kalangan cara membayar hutang puasa dengan Fidyah.

Bagi beberapa orang yang tidak mampu menjalankan ibadah puasa dengan kriteria tertentu, diperbolehkan tidak berpuasa serta tidak harus menggantinya di lain waktu. Namun, sebagai gantinya diwajibkan untuk membayar fidyah.

Ada ketentuan tentang siapa saja yang boleh tidak berpuasa. Hal ini tertuang dalam surat Al-Baqarah ayat 184.

”(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Q.S. Al Baqarah: 184)

Adapun kriteria orang yang bisa membayar fidyah di antaranya:

1. Orang tua renta yang tidak memungkinkannya untuk berpuasa
2. Orang sakit parah yang kecil kemungkinan sembuh
3. Ibu hamil atau menyusui yang jika berpuasa khawatir dengan kondisi diri atau bayinya (atas rekomendasi dokter).

Fidyah wajib dilakukan untuk mengganti ibadah puasa dengan membayar sesuai jumlah hari puasa yang ditinggalkan untuk satu orang. Nantinya, makanan itu disumbangkan kepada orang miskin.

Menurut Imam Malik, Imam As-Syafi'I, fidyah yang harus dibayarkan sebesar 1 mud gandum (kira-kira 6 ons = 675 gram = 0,75 kg atau seukuran telapak tangan yang ditengadahkan saat berdoa).

Sedangkan menurut Ulama Hanafiyah, fidyah yang harus dikeluarkan sebesar 2 mud atau setara 1/2 sha' gandum. (Jika 1 sha' setara 4 mud = sekitar 3 kg, maka 1/2 sha' berarti sekitar 1,5 kg). Aturan kedua ini biasanya digunakan untuk orang yang membayar fidyah berupa beras.

Cara membayar fidyah ibu hamil bisa berupa makanan pokok. Misal, ia tidak puasa 30 hari, maka ia harus menyediakan fidyah 30 takar di mana masing-masing 1,5 kg. Fidyah boleh dibayarkan kepada 30 orang fakir miskin atau beberapa orang saja (misal 2 orang, berarti masing-masing dapat 15 takar).

Menurut kalangan Hanafiyah, fidyah boleh dibayarkan dalam bentuk uang sesuai dengan takaran yang berlaku seperti 1,5 kilogram makanan pokok per hari dikonversi menjadi rupiah.

Cara membayar fidyah puasa dengan uang versi Hanafiyah adalah memberikan nominal uang yang sebanding dengan harga kurma atau anggur seberat 3,25 kilogram untuk per hari puasa yang ditinggalkan, selebihnya mengikuti kelipatan puasanya.***

Editor: Harry Tri Atmojo


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah