Mumpung Masih Diberi Kesempatan, Ini Aturan Kewajiban Bayar Hutang Puasa Ramadhan atau Puasa Qadha

- 16 Februari 2024, 12:07 WIB
Mumpung Masih Diberi Kesempatan, Ini Aturan Kewajiban Bayar Hutang Puasa Ramadhan atau Puasa Qadha
Mumpung Masih Diberi Kesempatan, Ini Aturan Kewajiban Bayar Hutang Puasa Ramadhan atau Puasa Qadha /Freepik/


PORTAL SULUT - Alhamdulillah, kurang 22 hari kita memasuki bulan Ramadhan 1445 H atau tahun 2024.

Berikut ini hukum bayar hutang puasa atau Puasa qadha ramadhan.

Muhammadiyah telah menetapkan awal puasa 2024 atau 1 Ramadan 1445 H jatuh pada 11 Maret 2024.

Baca Juga: Doa sebelum Mencoblos Surat Suara Pemilu 2024 dalam Bahasa Arab, Latin dan Terjemahannya

Muhammadiyah juga menetapkan Idul Fitri 1 Syawal pada 10 April 2024, Puasa Arafah 9 Zulhijah pada 16 Juni 2024, dan Idul Adha 10 Zulhijah 1445 H pada 17 Juni 2024.

Nah jika melihat dari jadwal yang ditetapkan Muhammadiyah, puasa ramadhan 2024 tinggal 29 hari lagi.

Apakah anda sudah bayar hutang puasa ramadhan tahun sebelumnya?

Jika belum, ini aturannya.

1. Bagaimana Jika Qadha Tertunda Sampai Ramadhan Berikutnya?

Waktu dan kesempatan untuk melaksanakan qadha puasa Ramadhan adalah lebih dari cukup, yakni sampai bulan Ramadhan berikutnya.

Meski begitu, tidak mustahil jika ada orang-orang yang dengan alasan tertentu belum juga melaksanakan puasa qadha sampai tiba bulan Ramadhan berikutnya.

Kejadian seperti ini bisa disebabkan oleh berbagai hal, baik yang positif maupun negatif seperti; selalu ada halangan, sering sakit, bersikap apatis, bersikap gegabah, sengaja mengabaikannya, dan lain sebagainya.

Hal-hal itu pun mengakibatkan pelaksanaan puasa qadha ditangguhkan atau tertunda sampai tiba Ramadhan berikutnya.

Untuk penangguhan atau penundaan pelaksanaan qadha puasa Ra­madhan sampai tiba Ramadhan berikutnya tanpa halangan yang sah, maka hukumnya haram dan berdosa.

Sedangkan jika penangguhan tersebut diakibatkan lantaran uzur yang selalu menghalanginya, hal itu tidaklah berdosa.

Adapun mengenai kewajiban fidyah yang dikaitkan dengan adanya penangguhan qadha puasa Ramadhan tersebut, terdapat dua pendapat di antara para Fuqaha.

Pendapat pertama menyatakan bahwa penangguhan puasa qadha sampai tiba bulan Ramadhan berikutnya, tidak menjadi sebab diwajibkannya fidyah. Baik penangguhannya tersebut karena ada uzur atau tidak.

Pendapat kedua menyatakan bahwa penangguhan qadha puasa Ramadhan sampai tiba bulan Ramadhan berikutnya ada tafshil (rincian) hukumnya.

Yakni jika penangguhan tersebut karena uzur, tidak menjadi sebab diwajibkannya fidyah.

Sedangkan jika penangguhan tersebut tanpa uzur, menjadi sebab diwajibkannya fidyah.

Kewajiban fidyah akibat penangguhan puasa qadha sampai tiba bulan Ramadhan berikutnya, tidaklah didasarkan pada nash yang sah untuk dijadikan hujjah.

Oleh karena itu, pendapat tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya.

Dengan demikian, secara mutlak tidak ada kewajiban fidyah, walaupun penangguhan tersebut tanpa uzur.

Baca Juga: Ajarkan Surah Ini Kepada Anak, Kata Ustadz Adi Hidayat : Insyaallah Pahala Mengalir Seumur Hidup!

2. Bagaimana Jika Meninggal Dunia sebelum Qadha?

Memenuhi kewajiban membayar utang adalah sesuatu yang mutlak. Baik yang berhubungan dengan manusia, apalagi berhubungan dengan Allah SWT.

Oleh karena itu, orang yang meninggal dunia sebelum memenuhi kewajiban puasa qadha, sama artinya dengan mempunyai tunggakan utang kepada Allah SWT. Sehingga pihak keluarga pun wajib memenuhinya.

Adapun dalam praktik pelaksanaan puasa qadha tersebut, ada dua pendapat.

Pendapat pertama menyatakan bahwa pelaksanaan puasa qadha orang yang meninggal dunia tersebut dapat diganti dengan fidyah, yaitu memberi makan sebesar 0,6 kg bahan makanan pokok kepada seorang miskin untuk tiap-tiap hari puasa yang telah ditinggalkannya.

Sabda Rasulullah SAW:

مَن مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيُامْ أُطْعِمَ عَنْهُ مَكَانَ يَوْمٍ مِسْكِيْنٌ

Artinya: "Siapa saja meninggal dunia dan mempunyai kewajiban puasa, maka dapat digantikan dengan memberi makan kepada seorang miskin pada tiap hari yang ditinggalkannya." (HR Tirmidzi, dari Ibnu 'Umar)

Akan tetapi, oleh perawinya sendiri yakni Imam Tirmidzi telah dinyatakan sebagai hadits gharib.

Bahkan oleh sebagian ahli hadits dinyatakan sebagai hadits mauquf, atau ditangguhkan alias tidak dipakai. Sehingga hadits ini tidak dapat dijadikan hujjah.

Meski begitu, para Fuqaha yang menyatakan pendapat ini menguatkannya dengan berbagai peristiwa seperti masyarakat Madinah melaksanakan hal yang seperti ini, yakni memberi makan kepada seorang miskin untuk tiap-tiap hari yang telah ditinggalkan puasanya oleh orang yang meninggal dunia.

Sedangkan pendapat kedua menyatakan bahwa jika orang yang memiliki kewajiban puasa qadha meninggal dunia, pihak keluarganya wajib melaksanakan puasa qadha tersebut sebagai gantinya dan tidak boleh dengan fidyah.

Sedangkan dalam prakteknya, pelaksanaan puasa qadha tersebut boleh dilakukan oleh orang lain, dengan seizin atau atas perintah keluarganya.

Sabda Rasulullah SAW:

مَنْ مَاتَ وَ عَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ

Artinya: "Siapa saja meninggal dunia dan mempunyai kewajiban qadha puasa, maka walinya (keluarganya) berpuasa menggantikannya." (HR. Bukhari dan Muslim, dari Aisyah)

Pendapat kedua ini dinilai lebih kuat lantaran hadits yang mendasarinya shahih.

Sementara pendapat pertama dinilai lemah karena hadits yang mendasarinya marfu', gharib atau mauquf.

Sedangkan peristiwa yang menguatkannya yaitu apa yang dilakukan oleh masyarakat Madinah ketika itu sama sekali tak dapat dijadikan hujjah, lantaran bukan suatu hadits.

Baca Juga: 27 Hari Lagi Ramadhan 2024, Ini 3 Hukum Bayar Hutang Puasa Ramadhan atau Puasa Qadha

3. Bagaimana Jika Jumlah Hari yang Ditinggalkan Tidak Diketahui?

Melaksanakan puasa Qadha sebanyak hari yang telah ditinggalkan merupakan suatu kewajiban.

Hal itu berlaku baik puasa Qadha untuk di­rinya sendiri maupun untuk anggota keluarga yang telah meninggal dunia.

Akan tetapi dalam hal ini, tidak mustahil terjadi bahwa jumlah hari yang harus puasa qadha itu tidak diketahui lagi, misalnya lantaran sudah terlalu lama, atau memang sulit diketahui jumlah harinya.

Dalam keadaan seperti ini, alangkah bijak jika kita tentukan saja jumlah hari yang paling maksimum.

Hal itu adalah karena kelebihan hari puasa qadha adalah lebih baik ketimbang kurang.

Kelebihan hari puasa qadha tersebut pun akan menjadi ibadah sunnah yang tentunya memiliki nilai tersendiri.

Tata Cara Puasa Qadha

Puasa qadha sama seperti puasa pada umumnya, di mana kita disunnahkan untuk makan sahur sebelum fajar tiba.

Kemudian menahan lapar, haus, dan menghindari hal-hal yang dapat membatalkan ibadah puasa itu sendiri, terhitung dari mulai terbitnya fajar di pagi hari sampai terbenamnya matahari di waktu petang.

Lafal niat puasa qadha dibaca pada malam harinya seperti niat puasa Ramadhan adalah sebagai berikut:

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ قَضَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ لِلهِ تَعَالَى

Nawaitu shauma ghadin ‘an qadhā’I fardhi syahri Ramadhāna lillâhi ta‘âlâ.

Artinya: “Aku berniat untuk mengqadha puasa Bulan Ramadhan esok hari karena Allah SWT.”

Dalam melaksanakan puasa Qadha, kita juga harus mengetahui hari-hari ketika melakukan puasa haram hukumnya, yakni pada saat Idul fitri, Idul adha, dan hari Tasyrik (tanggal 11-13 bulan Dzulhijjah).***

Editor: Harry Tri Atmojo


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah