Awal Puasa Ramadhan 1444 Hijriah 23 Maret 2023, Ini Ketentuan Puasa Qadha

6 Februari 2023, 13:35 WIB
Muhammadiyah Tetapkan 1 Ramadhan 1444 Hijriah pada 23 Maret /


PORTAL SULUT - Warga Muhammadiyah akan melaksanakan shalat tarawih perdana pada Rabu, 22 Maret 2023 malam. Mereka akan mengawali puasa Ramadhan 2023 dan bersantap sahur pada Kamis, 23 Maret 2023.

Ini sesuai surat penetappan 1 Ramadhan 1444 Hijriah/2023 Masehi. Muhammadiyah menetapkan awal puasa 1 Ramadhan 1444 Hijriah/2023 Masehi jatuh pada 23 Maret 2023 berdasarkan hisab hakiki wujudul hilal yang dipedomani oleh Majelis Tarjih dan Tajdid.

"Umur bulan Syakban 1444 Hijriah 30 hari dan tanggal 1 Ramadhan jatuh pada hari Kamis Pon, 23 Maret 2023 Masehi," demikian bunyi surat Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah.

Baca Juga: Selalu Amalkan Doa Ini Agar Rezeki Mengalir Deras dan Dapat Kebahagiaan Sepanjang Masa!

Surat tersebut ditandatangani oleh Wakil Ketua dan Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Oman Fathurahman dan Mohammad Mas'udi.

PP Muhammadiyah memandang pada Selasa 21 Maret 2023 ijtimak jelang Ramadhan 1444 Hijriah belum terjadi. Ijtimak terjadi esok harinya pada Rabu 22 Maret 2023, pukul 00:25:41 WIB.

Tinggi bulan pada saat matahari terbenam di Yogyakarta pada (¢ = -07° 48' dan l = 110° 21' BT ) = +07° 57' 17'' (hilal sudah wujud), dan di seluruh wilayah Indonesia pada saat matahari terbenam itu bulan berada di atas ufuk.

Selain menentukan 1 Ramadan 1444 H, Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah juga menetapkan 1 Syawal 1444 H dan 1 Zulhijah 1444 H.

Pada Kamis 29 Ramadhan 1444 Hijriah bertepatan dengan 20 April 2023 Masehi, ijtimak Syawal 1444 Hijriah terjadi pada pukul 11:15:06 WIB.

Tinggi bulan pada saat matahari terbenam di Yogyakarta (¢=-07° 48' dan l = 110° 21' BT ) = +01° 47' 58" (hilal sudah wujud), dan di seluruh wilayah Indonesia pada saat matahari terbenam itu bulan berada di atas ufuk.

"Tanggal 1 Syawal 1444 Hijriah jatuh pada hari Jumat Pahing, 21 April 2023 Masehi," bunyi surat tersebut.

Sementara 1 Zulhijjah 1444 Hijriah jatuh pada Senin (19/6), Hari Arafah (9 Zulhijjah) pada Selasa (27/6), dan Idul Adha pada Rabu (28 /6).

Lantas apakah anda sudah melaksanakan puasa qadha?

Qadha puasa Ramadhan adalah sebuah puasa pengganti yang dilakukan oleh seseorang untuk membayar hutang puasa.

Seperti yang telah diketahui kalau ada beberapa orang dalam keadaan tertentu yang boleh meninggalkan puasa di bulan Ramadhan. Tapi haruskah menggantinya di lain hari atau disebut sebagai hutang.

Bagi para Muslim yang meninggalkan puasa pada bulan Ramadhan tersebut diwajibkan untuk menggantinya.

Lalu, bagaimana dengan hukum dan aturan lainnya terkait puasa qadha? Berikut penjelasannya:

1. Bagaimana Jika Qadha Tertunda Sampai Ramadhan Berikutnya?

Waktu dan kesempatan untuk melaksanakan qadha puasa Ramadhan adalah lebih dari cukup, yakni sampai bulan Ramadhan berikutnya.

Meski begitu, tidak mustahil jika ada orang-orang yang dengan alasan tertentu belum juga melaksanakan puasa qadha sampai tiba bulan Ramadhan berikutnya.

Kejadian seperti ini bisa disebabkan oleh berbagai hal, baik yang positif maupun negatif seperti; selalu ada halangan, sering sakit, bersikap apatis, bersikap gegabah, sengaja mengabaikannya, dan lain sebagainya.

Baca Juga: Hati-hati Penyakit Ini Lebih Para dari Penyakit Fisik, dr Zaidul Akbar ungkap Bahanya

Hal-hal itu pun mengakibatkan pelaksanaan puasa qadha ditangguhkan atau tertunda sampai tiba Ramadhan berikutnya.

Untuk penangguhan atau penundaan pelaksanaan qadha puasa Ra­madhan sampai tiba Ramadhan berikutnya tanpa halangan yang sah, maka hukumnya haram dan berdosa.

Sedangkan jika penangguhan tersebut diakibatkan lantaran uzur yang selalu menghalanginya, hal itu tidaklah berdosa.

Adapun mengenai kewajiban fidyah yang dikaitkan dengan adanya penangguhan qadha puasa Ramadhan tersebut, terdapat dua pendapat di antara para Fuqaha.

Pendapat pertama menyatakan bahwa penangguhan puasa qadha sampai tiba bulan Ramadhan berikutnya, tidak menjadi sebab diwajibkannya fidyah. Baik penangguhannya tersebut karena ada uzur atau tidak.

Pendapat kedua menyatakan bahwa penangguhan qadha puasa Ramadhan sampai tiba bulan Ramadhan berikutnya ada tafshil (rincian) hukumnya.

Yakni jika penangguhan tersebut karena uzur, tidak menjadi sebab diwajibkannya fidyah.

Sedangkan jika penangguhan tersebut tanpa uzur, menjadi sebab diwajibkannya fidyah.

Kewajiban fidyah akibat penangguhan puasa qadha sampai tiba bulan Ramadhan berikutnya, tidaklah didasarkan pada nash yang sah untuk dijadikan hujjah.

Oleh karena itu, pendapat tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya.

Dengan demikian, secara mutlak tidak ada kewajiban fidyah, walaupun penangguhan tersebut tanpa uzur.

2. Bagaimana Jika Meninggal Dunia sebelum Qadha?

Memenuhi kewajiban membayar utang adalah sesuatu yang mutlak. Baik yang berhubungan dengan manusia, apalagi berhubungan dengan Allah SWT.

Oleh karena itu, orang yang meninggal dunia sebelum memenuhi kewajiban puasa qadha, sama artinya dengan mempunyai tunggakan utang kepada Allah SWT. Sehingga pihak keluarga pun wajib memenuhinya.

Adapun dalam praktik pelaksanaan puasa qadha tersebut, ada dua pendapat.

Pendapat pertama menyatakan bahwa pelaksanaan puasa qadha orang yang meninggal dunia tersebut dapat diganti dengan fidyah, yaitu memberi makan sebesar 0,6 kg bahan makanan pokok kepada seorang miskin untuk tiap-tiap hari puasa yang telah ditinggalkannya.

Sabda Rasulullah SAW:

مَن مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيُامْ أُطْعِمَ عَنْهُ مَكَانَ يَوْمٍ مِسْكِيْنٌ

Artinya: "Siapa saja meninggal dunia dan mempunyai kewajiban puasa, maka dapat digantikan dengan memberi makan kepada seorang miskin pada tiap hari yang ditinggalkannya." (HR Tirmidzi, dari Ibnu 'Umar)

Baca Juga: Amalan Ini Jadi Pembeda Antara Orang Muslim yang Jujur dan Tidak? Begini Kata Ustadz Adi Hidayat

Akan tetapi, oleh perawinya sendiri yakni Imam Tirmidzi telah dinyatakan sebagai hadits gharib.

Bahkan oleh sebagian ahli hadits dinyatakan sebagai hadits mauquf, atau ditangguhkan alias tidak dipakai. Sehingga hadits ini tidak dapat dijadikan hujjah.

Meski begitu, para Fuqaha yang menyatakan pendapat ini menguatkannya dengan berbagai peristiwa seperti masyarakat Madinah melaksanakan hal yang seperti ini, yakni memberi makan kepada seorang miskin untuk tiap-tiap hari yang telah ditinggalkan puasanya oleh orang yang meninggal dunia.

Sedangkan pendapat kedua menyatakan bahwa jika orang yang memiliki kewajiban puasa qadha meninggal dunia, pihak keluarganya wajib melaksanakan puasa qadha tersebut sebagai gantinya dan tidak boleh dengan fidyah.

Sedangkan dalam prakteknya, pelaksanaan puasa qadha tersebut boleh dilakukan oleh orang lain, dengan seizin atau atas perintah keluarganya.

Sabda Rasulullah SAW:

مَنْ مَاتَ وَ عَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ

Artinya: "Siapa saja meninggal dunia dan mempunyai kewajiban qadha puasa, maka walinya (keluarganya) berpuasa menggantikannya." (HR. Bukhari dan Muslim, dari Aisyah)

Pendapat kedua ini dinilai lebih kuat lantaran hadits yang mendasarinya shahih.

Sementara pendapat pertama dinilai lemah karena hadits yang mendasarinya marfu', gharib atau mauquf.

Sedangkan peristiwa yang menguatkannya yaitu apa yang dilakukan oleh masyarakat Madinah ketika itu sama sekali tak dapat dijadikan hujjah, lantaran bukan suatu hadits.

Baca Juga: Masalah Tak Kunjung Usai? Kata Ustadz Khalif Bassalamah Coba Selesaikan dengan Cara Ini

3. Bagaimana Jika Jumlah Hari yang Ditinggalkan Tidak Diketahui?

Melaksanakan puasa Qadha sebanyak hari yang telah ditinggalkan merupakan suatu kewajiban.

Hal itu berlaku baik puasa Qadha untuk di­rinya sendiri maupun untuk anggota keluarga yang telah meninggal dunia.

Akan tetapi dalam hal ini, tidak mustahil terjadi bahwa jumlah hari yang harus puasa qadha itu tidak diketahui lagi, misalnya lantaran sudah terlalu lama, atau memang sulit diketahui jumlah harinya.

Dalam keadaan seperti ini, alangkah bijak jika kita tentukan saja jumlah hari yang paling maksimum.

Hal itu adalah karena kelebihan hari puasa qadha adalah lebih baik ketimbang kurang.

Kelebihan hari puasa qadha tersebut pun akan menjadi ibadah sunnah yang tentunya memiliki nilai tersendiri.

4. Tata Cara Puasa Qadha

Puasa qadha sama seperti puasa pada umumnya, di mana kita disunnahkan untuk makan sahur sebelum fajar tiba.

Kemudian menahan lapar, haus, dan menghindari hal-hal yang dapat membatalkan ibadah puasa itu sendiri, terhitung dari mulai terbitnya fajar di pagi hari sampai terbenamnya matahari di waktu petang.

Lafal niat puasa qadha dibaca pada malam harinya seperti niat puasa Ramadhan adalah sebagai berikut:

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ قَضَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ لِلهِ تَعَالَى

Nawaitu shauma ghadin ‘an qadhā’I fardhi syahri Ramadhāna lillâhi ta‘âlâ.

Artinya: “Aku berniat untuk mengqadha puasa Bulan Ramadhan esok hari karena Allah SWT.”

Dalam melaksanakan puasa Qadha, kita juga harus mengetahui hari-hari ketika melakukan puasa haram hukumnya, yakni pada saat Idul fitri, Idul adha, dan hari Tasyrik (tanggal 11-13 bulan Dzulhijjah).***

Editor: Harry Tri Atmojo

Tags

Terkini

Terpopuler