Mitos Orang Jawa dan Sunda Tak Boleh Menikah, Ternyata Asalnya dari Sini

- 13 Desember 2021, 07:42 WIB
Ilustrasi perang
Ilustrasi perang /Unsplash.com/Hasan Almasi


PORTAL SULUT - Pernahkah kalian mendengar bahwa orang Sunda dilarang menikah dengan orang Jawa atau sebaliknya?

Ternyata hal itu hingga kini masih jadi pembicaraan oleh sebagian masyarakat.

Lalu apakah anda tahu apa sebabnya?

Baca Juga: Weton Lahir Senin Pon Merapat, Inilah Keistimewaan Luar Biasa yang Kamu Miliki

Lalu Mengapa orang Sunda dan Jawa dilarang menikah dan membina rumah tangga ?

Mitos itu diduga akibat dari tragedi perang Bubat, peristiwa Perang Bubat diawali dari niat Prabu Hayam Wuruk yang ingin memperistri Putri Dyah Pitaloka Citraresmi dari negeri Sunda.

Konon ketertarikan Hayam Wuruk terhadap putri tersebut karena beredarnya lukisan sang putri di Majapahit yang dilukis secara diam-diam oleh seorang seniman Pada masa itu yang bernama Sungging Prabangkara.

Hayam Wuruk memang berniat memperistri dia Pitaloka dengan didorong alasan politik, yaitu untuk mengikat persekutuan dengan negeri Sunda.

Atas restu dari Kerajaan Majapahit Hayam Wuruk mengirimkan surat kehormatan kepada Maharaja Linggabuana untuk melamar Dyah Pitaloka.

Upacara pernikahan Rencananya akan dilangsungkan di Majapahit, Maharaja Linggabuana berangkat bersama rombongan Sunda ke Majapahit dan diterima serta ditempatkan di Pesanggrahan Bubat.

Raja sunda datang ke Bubat, beserta Permaisuri dan Putri Dyah Pitaloka dengan diiringi sedikit prajurit.

Menurut kidung sundayana, timbul niat Mahapatih Gajah Mada untuk menguasai kerajaan Sundah.

Gajah Mada ingin memenuhi Sumpah Palapa yang dibuatnya pada masa sebelum Hayam Wuruk naik tahta.

Baca Juga: Merinding! Inilah 4 Kisah Mistis di Balik Gunung Semeru dan Pesan Juru Kunci Mbah Dipo

Karena, dari berbagai kerajaan di Nusantara yang sudah ditaklukan Majapahit hanya kerajaan Sunda yang belum dikuasai.

Dengan maksud tersebut membuat Gajah Mada, menganggap bahwa kedatangan rombongan Sunda di Pesanggrahan Bubat adalah bentuk penyerahan diri kerajaan Sunda kepada Majapahit.

Gajah Mada mendesak Hayam Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka bukan sebagai pengantin tetapi sebagai tanda Sunda dan pengakuan superioritas Majapahit atas Sunda di Nusantara.

Hayam Wuruk sendiri disebutkan bimbamg atas permasalahan tersebut mengingat Majapahit adalah Mahapati yang di andalkan pada masa itu.

Versi lain menyebut, bahwa Raja Hayam Wuruk sejak kecil, sudah dijodohkan dengan adik sepupunya yaitu Putri Sekartaji atau Hindu Dewi, sehingga Hayam Wuruk, harus menikahi Hindu Dewi, sedangkan Dyah Pitaloka hanya diangap tanda tahluk.

Pihak Pajajaran tidak terima, kalau kunjungan mereka ke Majapahit hanya menyerahkan Dyaj Pitaloka sebagai tanda Taklukan.

Kemudian terjadi insiden perselisihan antara utusan Linggabuana dengan Gajah Mada.

Perselisihan ini diakhiri dengan di maki-makinya Gajah Mada oleh utusan negeri Sunda yang terkejut, bahwa kedatangan mereka hanya untuk memberikan tanda takluk, dan mengakui superioritas Majapahit bukan karena undangan sebelumnya.

Namun Gajah Mada tetap dalam posisi semula, sementara Hayam Wuruk belum memberikan putusannya, Gajah Mada sudah mengerahkan pasukan Bhayangkara ke Pesanggrahan Bubat dan mengancam Linggabuana untuk mengakui superioritas Majapahit.

Demi mempertahankan kehormatan kesatria Sunda Linggabuana menolak tekanan itu.

Terjadilah peperangan yang tidak seimbang, antara dengan Gajah Mada yang pasukan yang berjumlah besar, Melawan Linggabuana dengan pengawal kerjaan yang berjumlah kecil, serta pejabat kerajaan dan mentri kerajaan yang ikut dalam kunjungan.

Baca Juga: 5 Weton Dipercaya Bisa Jadi Sultan dalam Waktu Singkat Menurut Primbon Jawa, Cek Hari Lahirmu

Peristiwa itu berakhir dengan gugurnya Raja Lingga Buana, para menteri atau pejabat kerajaan beserta segenap Keluarga Kerajaan Sunda di Pesanggrahan Bubat.

Tradisi menyembuhkan sang putri Dyah Pitaloka dengan hati berduka melakukan bela patih, atau bunuh diri untuk membela kehormatan bangsa dan negaranya.

Menurut tata perilaku dan nilai-nilai kasta kesatria tindakan bunuh diri ini, merupakan ritual yang dilakukan oleh para perempuan kasta tersebut jika kaum laki-laki telah gugur.

Perbuatan itu diharapkan dapat membela harga diri sekaligus untuk melindungi kesucian mereka, yaitu menghadapi kemungkinan dipermalukan karena pemerkoasaan,penganiayaan, atau diperbudak.

Hayam Wuruk pun kemudian meratapi kematian yang Dyah Pitaloka akibat peristiwa Bubat ini, hubungan Hayam Wuruk dengan Gajah Mada menjadi renggang.

Gajah Mada sendiri menghadapi tantangan kecurigaan dan kecaman dari pihak pejabat dan bangsawan Majapahit, karena tindakannya dianggap ceroboh dan gegabah.

Mahapatih Gajah Mada dianggap terlalu berani dan lancang dengan tidak mengindahkan keinginan dan perasaan sang mahkota Raja Hayam Wuruk sendiri.

Tragedi perang Bubat juga merusak hubungan kenegaraan antara Majapahit dan Pajajaran atau Sunda, Perselisihan ini berlangsung hingga bertahun-tahun.

Perselisihan ini membuat hubungan Sunda dan Majapahit tidak pernah pulih seperti sediakala.

Pangeran Skala Wastukencana, yaitu adik dari Putri Dyah Pitaloka yang tetap tinggal di istana Kawali dan tidak ikut ke Majapahit mengiringi keluarganya, karena saat itu masih terlalu kecil dan menjadi satu-satunya keturunan raja yang masih hidup, kemudian naik tahta menjadi Prabu Niskala Wastukencan.

Kebijakan Prabu Niskala Wastukencana, antara lain, memutuskan hubungan dengan Majapahit dan menerapkan isolasi terbatas dalam hubungan kenegaraan antara dua kerajaan.

Akibat peristiwa ini pula dikalangan kerabat Negeri Sunda, diberlakukan peraturan beristri dari luar.

Peraturan tersebut, diantaranya tidak boleh menikah dari luar lingkungan kerabat Sunda atau sebagian lain mengatakan tidak boleh menikah dengan pihak Majapahit.

Peraturan ini kemudian ditafsirkan lebih luas sebagai larangan bagi orang Sunda untuk menikahi orang Jawa.

Tindakan keberaniam keperwiraan Raja Sunda dan Putri Dyah Pitaloka untuk melakukan tindakan bila mati atau berani mati, dihormati dan dimuliakan oleh rakyat Sunda yang dianggap sebagai teladan.

Raja Linggabuana dijuluki dengan Prabuwangi dalam bahasa sundah artinya Raja yang harum namanya.

Karena kepahlawanannya membela harga diri negara, keturunannya yaitu raja-raja Sunda kemudian dijuluki Siliwangi yang berasal dari kata Siliwangi yang berarti pengganti, pewaris atau penerus Prabu Wangi.

Kisah itu kemudian diperkaya turun - temurun dan menjadi penyebab memburuknya hubungan antara suku Sunda dan Jawa.

Artikel ini dikutip portalsulut.pikiran-fakyat.com dari kanal youtube Pegawai Jalanan.

Sementara itu, Arkeolog Universitas Indonesia (UI) Agus Aris Munandar dalam seminar Borobudur Writers & Culture Festival 2012, menaggapi soal mitos ini.

"Soal pernukahan itu, teori saya tentang Gajah Mada, Gajah Mada tidak bersalah. Gajah Mada hanya melaksanakan titah sang raja, Gajah Mada ingin sekali untuk menyatukan antara Raja Sunda dam Raja Jawa lalu bergabung. Indah sekali". Ujarnya.*

Editor: Harry Tri Atmojo


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah