Bahkan oleh sebagian ahli hadits dinyatakan sebagai hadits mauquf, atau ditangguhkan alias tidak dipakai. Sehingga hadits ini tidak dapat dijadikan hujjah.
Meski begitu, para Fuqaha yang menyatakan pendapat ini menguatkannya dengan berbagai peristiwa seperti masyarakat Madinah melaksanakan hal yang seperti ini, yakni memberi makan kepada seorang miskin untuk tiap-tiap hari yang telah ditinggalkan puasanya oleh orang yang meninggal dunia.
Sedangkan pendapat kedua menyatakan bahwa jika orang yang memiliki kewajiban puasa qadha meninggal dunia, pihak keluarganya wajib melaksanakan puasa qadha tersebut sebagai gantinya dan tidak boleh dengan fidyah.
Sedangkan dalam prakteknya, pelaksanaan puasa qadha tersebut boleh dilakukan oleh orang lain, dengan seizin atau atas perintah keluarganya.
Sabda Rasulullah SAW:
مَنْ مَاتَ وَ عَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ
Artinya: "Siapa saja meninggal dunia dan mempunyai kewajiban qadha puasa, maka walinya (keluarganya) berpuasa menggantikannya." (HR. Bukhari dan Muslim, dari Aisyah)
Pendapat kedua ini dinilai lebih kuat lantaran hadits yang mendasarinya shahih.
Sementara pendapat pertama dinilai lemah karena hadits yang mendasarinya marfu', gharib atau mauquf.
Sedangkan peristiwa yang menguatkannya yaitu apa yang dilakukan oleh masyarakat Madinah ketika itu sama sekali tak dapat dijadikan hujjah, lantaran bukan suatu hadits.