PORTAL SULUT – Bisakah seorang manusia merubah takdir atau hanya pasrah dengan menerima kenyataan yang ada? Prof. Dr. AG.H. Muhammad Quraish Shihab, L.c. M.A menjelaskan dalam tausiyahnya bahwa uraian menyangkut takdir tidak dikenal pada masa nabi.
Hal ini, kata Quraish Shihab, sebagaimana telah dibahas oleh para filsuf-filsuf atau ahli-ahli ilmu kalam. Menurutnya, para sahabat nabi kala itu memahami takdir sebagai penyerahan diri kepada Tuhan Allah SWT.
Quraish Shihab mencontohkan salah satu yang diperagakan oleh sahabat nabi yakni Sayydina Umar bin Khatab R.A. Ketika itu beliau masih menjadi khalifah.
Baca Juga: Menyibak Perbedaan Qadha dan Qadar, Begini Penjelasan Quraish Shihab
Sayyidina Umar, lanjut Quraish Shihab, sangat marah ketika mendengar kata takdir. Bahkan, Sayyidina Umar tidak akan sungkan mencambuk orang yang berbicara tentang takdir, karena perkara takdir bukanlah persoalan yang perlu dibahas.
Kata takdir sendiri mulai popular ketika wabah menyerang dataran jazirah Arab. Hingga satu ketika, Sayyidina Umar yang hendak berangkat ke Syam (Damaskus) pun membatalkan perjalanannya akibat wabah tersebut.
Ketika itu, seorang sahabat nabi bernama Abu Ubaidah Ibn Jarrah, bertanya kepada Sayyidina Umar. Ia berkata: Kamu lari dari takdir wahai Umar? Umar pun menjawab: Saya lari dari takdir menuju takdir yang lain.
Tetapi ketika Sayyidina Umar terbunuh karena ditikam, beliau berkata: Wa Kaana Qadarullahi Qodaran Maqduura. Artinya: yang ditakdirkan Allah itu tidak bisa kita mengelak darinya..